Selasa, 29 Mei 2012

hak atas rumah bagi kaum miskin

Manusia dan tempat tingal adalah saling melengkapi satu sama lain di era modern sperti saat ini, kenapa tidak karna pada dasarnya manusia membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari keadaan alam, dan tempat tinggal harus di tempati oleh pemiliknya jika tidak maka akan ada makhluk ghoib yg menempatinya. Makna dari tempat tinggal itu sendiri bisa berarti sangat luas, bisa diartikan sebagai sebuah rumah, tempat berteduh selain rumah, tempat berteduh yang bersifat sementara. Pada konstitusi tertinggi Negara ini yakni UUD 1945 telah di amandemen sebanyak empat kali, pada amandemen yang ke dua tepatnya pada tahun 2000 lalu, telah terdapat BAB Hak Asari Manusia yang lebih terperinci dari amandemen sebelumnya. Pada pasal 28H ayat (1) dikatan bahwa “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehat” dalam pasal ini hidup sejahtera lahir dan batin meliputi hak bertempat tinggal, hak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak memperoleh pelayanan kesehatan. Yang perlu digaris bawahi dalam penelasan diatas adalah hak bertemat tinggal. Kita tinggalkan sejenak tentang penjelasan pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Indonesia telah meratifikasi ICESC pada tahun 2005. Pada pasal 11 ayat (1) penggunaan kalimat “pengakuan hak atas penghidupan yang layak” dalam pasal ini kehidupa yang layak meliputi kecukupan hak makanan, rumah, dan pakaian. Yang perlu digaris bawahi dalam penjelasan p`ragraf ini adalah hak rumah. Jika dibandingkan dengan UUD 1945 pasal 28H ayat (1) dengan ICESCR pasal 11 ayat (1), perbedaan dari tempat tinggal dan rumah memiliki makna yang berbeda. Tempat tinggal seperti halnya manusia zaman purba hanya bersifat sementara dan ada yang menetap, seperti contohnya bertempat tinggal dikolong jembatan bisa juga menumpang di tempat saudara, bahkan sampai mendirikanbangunan rumah yang bukan pada haknya. Sedangkan rumah bisa diartikan adalah tempat tinggal yang sah dan memiliki serifikat serta surat atas haknya sehingga pendiriannya tidak illegal. Perkembangan masyatrakat kota Indonesia saat ini sangatlah pesat di karnakan faktor mencari pekerjaan di kota lebih mudah dari pada di desa, dan pada akhirnya dengan kepadatan tersebut ada beberapa masyarakt yang mendirikan baguna rumah secar illegal. Bisa dikatakan Indonesia sangat berani meratifiksi ICESCR dan patut untuk diapresiasi keberaniannya. Akan tetapi penerapan ICESCR itu sendiri belum terealisasi secara maksimal, dari penjelasa UUD 1945 pasal 28H ayat (1) sangat menghawatirkan sedangkan pasal 9 UU no 39 tahun 1999 yang seharusnya memperkuat akan tetapi justru malah melemahkan UUD psal 28H ayat (1) karna tidak adanya penjelasan yang pasti mengenai “hak untuk meningkatkan taraf hidup” pada UU 39 pasal 9 tersebut. Dari beberapa penjelasa diatas Negara bisa dikatakan melanggar hak asasi manusia mengacu pada ICESCR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Seharusnya Hak untuk mendapatkan rumah yang laya dan memiliki keabsahan yang pasti (legal) yang terdapat pada penjelasan ICESCR malah dibatasi oleh perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian Negara wajib menjamin pemenuhan hak atas rumah dengan beberapa indicator 1. Sifat kepemilikan hakya, untuk mendapatkan haknya terpenuhi sebagai pemilik atas tanah dan bangunan yang berdiri siatasnya. 2. Harga terjangkau, semua masyarakat dari kalangan (khususnya) kelas menengah kebawah mampu untuk membeli rumah beserta bangunan yang ada diatasnya. 3. Kelayakan, dengan harga terjangkau untuk semua masyarakat miskin kulitas dan kelayakan harus diutamakan karna menyangut keselamatan penghuninya. 4. Lokasi, lokasi berpengaruh pada keselamatan juga karna jangan sampai dengan harga yang sangat murah berlokai di pinggir jurang.

Senin, 07 Mei 2012

koboy palmerah

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Seperti yang tercantum pada Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, bahwa hak asasi manusia adalah kodrat yang diberikan oleh tuhan yang wajib di lindungi oleh Negara. Di zaman modernisasi seperti saat ini banyak orang jawa mengatakan “saiki jamane, jaman edan” sekarang zamannya, zaman gila. Memang benar apa yang dikatakan orang jawa tersebut, untuk saat ni nyawah sudah tidak berharga lagi di Indonesia. Beberapa hari yang lalu di salah satu media elektronik memberitakan terjadi main hakim amuk warga yang diduga pencuri sapi di Madura korbannya dibakar oleh masa. Yang lebih menghawatirkan lagi saat ini tentang pemberitaan koboy palmerah, kehadiran mereka di media elektronok maupun cetak sudah cukup meresahkan masyarakat Indonesia. Pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah beberapa kali di amandemen juga telah memuat beberapa pasal tentang Hak Asasi Manusia dan Indonesia telah meratifikasi ICCPR (INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS). Dalam Undang-Undang no 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pada pasal 9 ayat 2 berbunyi “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”. Hak untuk damai sendiri yang dengan keberadaan koboy palmerah sudah membuat masyarakat resah dan khawatir, bisa saja koboy palmerah dengan seenaknya sendiri meluncurkan peluru dari senjata api yang dibawa. Dalam hal ini pemerintah yang seharusnya melindungi hak asasi manusia atas negaranya yang tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

Sabtu, 05 Mei 2012

persamaan dan perbedaan hukum acara PTUN dengan hukum acara perdata

Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata Obyek Gugatan Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum) Kedudukan Para Pihak Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidak terikat pada kedudukan. Gugat Rekonvensi Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi (gugat balik), yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka.  Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari. Tuntutan Gugatan  Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. Rapat Permusyawaratan Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN Pemeriksaan Persiapan Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan. Putusan Verstek Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek. Pemeriksaan Cepat Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.  Sistem Hukum Pembuktian Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN). Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad) Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan. Kedudukan Pengadilan Tinggi Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama. Hakim Ad Hoc Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata Pengajuan gugatan.  Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.  Isi Gugatan Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv. Isi gugatan terdiri dari yaitu:  a. Identitas para pihak  b. Posita c. Petitum Pendaftaran Perkara Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR).  Penetapan Sidang Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat. Pemberian Kekuasaan Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Hakim Majelis Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN). Persidangan Terbuka untuk Umum Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara. Mendengar Kedua Belah Pihak Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan. Pencabutan dan Perubahan Gugatan Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum. Hak Ingkar Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN). Pengikutsertaan Pihak Ketiga Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak. Pembuktian Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit).  Pelaksanaan Putusan Pengadilan Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR. Juru Sita Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya dan Pembangunan Pertahanan Keamanan

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimanatertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam siseluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosialberbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterimasebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidakmenciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesiadan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dantanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyatIndonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dankeamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunanpertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyatsemesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini olehpemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjutuntuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenapbangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkanpada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan padakekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di manapemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalammasalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigmapembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimanatertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalamundang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak padafalsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetaptegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945.

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN ASIONALN

Pembangunaan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manunsia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meperhatikan tantangan global,yang pelaksanaan mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan,sejahtera maju, serta kukuh kekuatan moral dan etikanya,dan tujuan pembangunan itu sendiri untuk meningkatkankesejahteraan seluruh Indonesia, dan pelaksnaannya bukan hanya kewajiban pemerintah melainkan juga seluruh rakyat Indonesia dan untuk mencapai tujuan nasional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan berkepribadian negara indonesia untuk melaksanakan pembangunan nasional secara menyeluruh. Hal ini sebagai perwujudan praktis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Secara filosofis hakekat kedudukan pancasila sebagai pradigma dalam nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai sila-sila dalam pancasila. Oleh karena itu negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat manusia “monopluralis”. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, rohani (jiwa) dan raga. Sifat kodrat manusia makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi sendiridansebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Atas dasar kreativitas akalnya manusia mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengoah kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan. Oleh karena itu tujuan essensial dari IPTEK adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga IPTEK pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar – dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan IPTEK haruslah bersifat beradab. Oleh karena itu pengembangan IPTEK harus didasarkan pada hakikat tujuan demi kesejahteraan umat Manusia. IPTEK bukan untuk kesombongan , kecongkakan, dan keserakahan manusia namun harus diabadikan demi peningkatan harkat dan martabat manusia.Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan pengembangan IPTEK harus menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannnyadengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan neganegara serta manusia dengan alam lingkungannya.

Jumat, 04 Mei 2012

tugas pokok dan fungsi mahkamah agung

1. FUNGSI PERADILAN a. SebagaiPengadilan Negara Tertinggi, MahkamahAgungmerupakanpengadilankasasi yang bertugasmembinakeseragamandalampenerapanhukummelaluiputusankasasidanpeninjauankembalimenjaga agar semuahukumdanundang-undangdiseluruhwilayahnegara RI diterapkansecaraadil, tepatdanbenar. b. DisampingtugasnyasebagaiPengadilanKasasi, MahkamahAgungberwenangmemeriksadanmemutuskanpadatingkatpertamadanterakhir - semuasengketatentangkewenanganmengadili. - permohonanpeninjauankembaliputusanpengadilan yang telahmemperolehkekuatanhukumtetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undangMahkamahAgung No. 14 Tahun 1985) - semuasengketa yang timbulkarenaperampasankapalasingdanmuatannyaolehkapalperangRepublik Indonesia berdasarkanperaturan yang berlaku (Pasal 33 danPasal 78 Undang-undangMahkamahAgung No 14 Tahun 1985) c. Eratkaitannyadenganfungsiperadilanialahhakujimateriil, yaituwewenangmenguji/ menilaisecaramateriilperaturanperundangandibawahUndang-undangtentanghalapakahsuatuperaturanditinjaudariisinya (materinya) bertentangandenganperaturandaritingkat yang lebihtinggi (Pasal 31 Undang-undangMahkamahAgungNomor 14 Tahun 1985). 2. FUNGSI PENGAWASAN a. MahkamahAgungmelakukanpengawasantertinggiterhadapjalannyaperadilan di semualingkunganperadilandengantujuan agar peradilan yang dilakukanPengadilan-pengadilandiselenggarakandenganseksamadanwajardenganberpedomanpadaazasperadilan yang sederhana, cepatdanbiayaringan, tanpamengurangikebebasan Hakim dalammemeriksadanmemutuskanperkara (Pasal 4 danPasal 10 Undang-undangKetentuanPokokKekuasaanNomor 14 Tahun 1970). b. MahkamahAgunbgjugamelakukanpengawasan : - terhadappekerjaanPengadilandantingkahlakupara Hakim danperbuatanPejabatPengadilandalammenjalankantugas yang berkaitandenganpelaksanaantugaspokokKekuasaanKehakiman, yaknidalamhalmenerima, memeriksa, mengadili, danmenyelesaikansetiapperkara yang diajukankepadanya, danmemintaketerangantentanghal-hal yang bersangkutandenganteknisperadilansertamemberiperingatan, tegurandanpetunjuk yang diperlukantanpamengurangikebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undangMahkamahAgungNomor 14 Tahun 1985). - TerhadapPenasehatHukumdanNotarissepanjang yang menyangkutperadilan (Pasal 36 Undang-undangMahkamahAgungNomor 14 Tahun 1985). 3. FUNGSI MENGATUR a. MahkamahAgungdapatmengaturlebihlanjuthal-hal yang diperlukanbagikelancaranpenyelenggaraanperadilanapabilaterdapathal-hal yang belumcukupdiaturdalamUndang-undangtentangMahkamahAgungsebagaipelengkapuntukmengisikekuranganataukekosonganhukum yang diperlukanbagikelancaranpenyelenggaraanperadilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985). b. MahkamahAgungdapatmembuatperaturanacarasendiribilamanadianggapperluuntukmencukupihukumacara yang sudahdiaturUndang-undang. 4. FUNGSI NASEHAT a. MahkamahAgungmemberikannasihat-nasihatataupertimbangan-pertimbangandalambidanghukumkepadaLembagaTinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undangMahkamahAgung No.14 Tahun 1985).MahkamahAgungmemberikannasihatkepadaPresidenselakuKepala Negara dalamrangkapemberianataupenolakangrasi (Pasal 35 Undang-undangMahkamahAgung No.14 Tahun 1985).SelanjutnyaPerubahanPertamaUndang-undangDasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), MahkamahAgungdiberikankewenanganuntukmemberikanpertimbangankepadaPresidenselakuKepala Negara selaingrasijugarehabilitasi. Namundemikian, dalammemberikanpertimbanganhukummengenairehabilitasisampaisaatinibelumadaperaturanperundang-undangan yang mengaturpelaksanaannya. b. MahkamahAgungberwenangmemintaketerangandaridanmemberipetunjukkepadapengadilandisemualingkungaperadilandalamrangkapelaksanaanketentuanPasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentangKetentuan-ketentuanPokokKekuasaanKehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentangMahkamahAgung). 5. FUNGSI ADMINISTRATIF a. Badan-badanPeradilan (PeradilanUmum, Peradilan Agama, PeradilanMiliterdanPeradilan Tata Usaha Negara) sebagaimanadimaksudPasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secaraorganisatoris, administrative danfinansialsampaisaatinimasihberadadibawahDepartemen yang bersangkutan, walaupunmenurutPasal 11 (1) Undang-undangNomor 35 Tahun 1999 sudahdialihkandibawahkekuasaanMahkamahAgung. b. MahkamahAgungberwenangmengaturtugassertatanggungjawab, susunanorganisasidantatakerjaKepaniteraanPengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentangPerubahanAtasUndang-undang No.14 Tahun 1970 tentangKetentuan-ketentuanPokokKekuasaanKehakiman). 6. FUNGSI LAIN-LAIN Selaintugaspokokuntukmenerima, memeriksadanmengadilisertamenyelesaikansetiapperkara yang diajukankepadanya, berdasarPasal 2 ayat (2) Undang-undangNomor 14 Tahun 1970 sertaPasal 38 Undang-undangNomor 14 Tahun 1985, MahkamahAgungdapatdiserahitugasdankewenangan lain berdasarkanUndang-undang. oleh MahkamahAgungRepublik Indonesia pada 30 Januari 2009

pro dan kontra hukuman mati

Pidana mati atau hukuman mati merupakan pemidanaan terberat, karena berhubungan dengan hak hidup seseorang.Pencabutan hak hidup si terhukum mati jika telah dieksekusi dan dikemudian hari ditemukan bukti baru yang membuktikan bahwa si tereksekusi bukan pelakunya, maka tidak mungkin untuk dikembalikan dalam keadaan semula (dihidupkan kembali), untuk itu perlu kehati-hatian untuk menjatuhkan hukuman mati, terutama bagi para Hakim. Praktek peradilan dan khususnya sistem pembuktian hukum pidana Indonesia, terutama Penyidik/Kepolisian masih belum dapat sepenuhnya melepaskan cara-cara lama mengejar pengakuan tersangka dalam melakukan penyidikan, yakni masih adanya penekanan dan penyiksaan pada orang yang dianggap pelaku perbuatan pidana (jngat kasus pembunuhan di Jombang dan di Sulawesi). Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum, yang semestinya mempelajari perkara yang diajukan kepadanya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pasal-pasal hukum yang akan dibuktikan dalam persidangan, seringkali secara serampangan karena mungkin ada muatan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan berbuat serampangan, demikian juga pada waktu penuntutan acap kali sangat tidak memperhatikan rasa prikemanusiaan lagi, memang bukan kuwajiban penuntut umum, tetapi hatinurani sebagai manusia atau bisikan hati sanubari itupun seharusnya tidak diabaikan begitu saja. Banyak nada minus atas putusan lembaga Pengadilan ini, dan pengadilan seringkali diberi gelar sebagai lembaga stempel atau lembaga yang melegalisasi Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan tuntutan Penuntut Umum, seringkali seharusnya tidak terbukti, tetapi karena tuntutan Penuntut Umum Tinggi yang mestinya dibebaskan dalam prakteknya selalu dihukum paling rendah separo dari tuntutan Penuntut Umum yang seharusnya bebas, kecuali perkara-perkara yang telah menjadi perhatian public (contoh kasus seperti Prita, kasus pembunuhan di Jombang dlsb). Andaikan kasus Prita dan kasus Jombang tidak memperoleh perhatian masyarakat atau para Capres yang lagi getol-getolnya kampanye, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa Prita akan dihukum dan tidak mungkin dibebaskan seperti saat ini. Karena keadaan praktisi-praktisi peradilan demikian, maka tidak dapat disalahkan jika di masyarakat akhirnya timbul pro dan kontra pada hukuman mati. BAGI YANG KONTRA HUKUMAN MATI, selalu mengaitkan dengan Hak Asasi Manusia, Panca Sila dan hak pencabutan nyawa seseorang, karena hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup dan tidak ada satupun manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup manusia lain meskipun dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia menganut dasar Falsafah Panca Sila yang menghormati harkat dan martabat manusia serta berke-Tuhanan, karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya Tuhan. BAGI YANG PRO HUKUMAN MATI, Demi ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat serta keadilan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau masyarakat disingkirkan dari muka bumi ini. Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila bukan untuk melindungi penjahat atau orang yang berbuat merugikan orang banyak, karena Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat, sedangkan hak mencabut nyawa seseorang memang benar hak Tuhan tetapi dalam hal ini dapat juga diartikan bahwa Tuhan telah mengutus hakim dan regu tembak untuk mencabut nyawa siterpidana, jika Tuhan tidak mengutus dan/atau mengijinkan maka tidak mungkin siterpidana akan berhadapan dengan regu tembak eksekutor dan mati. BAGI YANG PRO DENGAN SYARAT-SYARAT TERTENTU, hukuman mati tiu tidak menjadi persoalan jika saat penyidikan kepada tersangka diberi hak-haknya secara wajar tanpa adanya unsur paksaan dalam arti dihormati Hak Asasi Manusia-nya dan hak hukumnya untuk didampingi seorang Advokat atau lebih dan tidak ada pemaksaan atau provokasi dengan motif tertentu sepeninggal Advokatnya, serta diyakini dengan benar bukan karena keterpaksaan bahwa memang benar sitersangka adalah pelakunya. Penjahat atau perbuatan yang sangat merugikan orang banyak dan merusak generasi bangsa serta menimbulkan rasa ketakutan atau kecemasan masyarakat memang seharusnya disingkirkan dari muka bumi. Djawara Putra Petir, MP., SH., MH. Advokat & Lawyer http://umum.kompasiana.com/2009/06/20/pro-dan-kontra-hukuman-mati/