Minggu, 22 April 2012

ANALISIS TEORI HAM ATAS KEBERADAAN PNPS NO 1/1965

Pada dasarnya teori utilitarian yang dianut oleh HAM adalah untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yang menjadi tolak ukur dari teori utilitarian ini adalah kebahagian masyarakat mayoritas. Sedangkan apabila teori ini diterapkan akan berdampak pada kebebasab individu yang dikorbankan untuk kepentingan mayoritas dalam artian kebahagiaan masyarakat mayoritas, yang terkadang kepentingan mayoritas itu sendiri dapat menindas masyarakat minoritas, dan apabila peraturan yang dibuat tidak memperhatikan masyarakat minoritas itu sendiri, bahkan masyarakat minoritas dapat dikucilkan. Dalam analisis kasus penulis yang beberapa waktu lalu berpendapat bahwa teori ini digunakan dalam pembuatan PNPS No 1/1965. Hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Menurut pemerintah dengan timbulnya aliran aliran kepercayaan yang baru telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari fak ta yang sedang berkembang itulah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut diatas yang dapat membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin Pemerintah menganggap perlu mengeluarkan keluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing. Bahwa PNPS tersebut secara historis merupakan sebuah peraturan yang dibentuk pada keadaan darurat. Hal ini ditujukan untuk membendung aliran-aliran keagamaan yang menentang pemerintah. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa PNPS tersebut ditujukan untuk mengamankan negara dan masyarakat dimana penyalahgunaan atau penodaaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Penafsiran sebuah agama, dan pelarangan terhadap keyakinan seseorang telah bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia khususnya dalam hal hak asasi untuk beragama. Hal ini dianggap bertentangan dengan beberapa peraturan seperti UUD 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Bertentangan pula dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) “ Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain., Kovenan Internasional Sipil dan Politik serta instrument hukum lainnya”. Serta hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Batasan mengenai “penodaan”, “penistaan” dan “penyalahgunaan” agama adalah sangat absurd sehingga dapat digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk melakukan kriminalisasi terhadap minoritas beragama lainnya. Kebebasan beragama hanya dapat dilakukan dengan parameter sebagaimana “pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan”. Pada dasarnya tidak ada lembaga yang dapat memberikan label sesat maupun tidak sesat karena prinsip-prinsip keberagamaan di Indonesia sendiri memiliki keragaman dan tafsiran yang seharusnya diakomodasi oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar